Guru
Tidak Bemutu adalah Penikmat Kezaliman
Ditinjau dari aspek kinerja, guru
dapat dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu:
1. Guru yang memiliki abstraksi tinggi dan komitmen tinggi
2. Guru yang memiliki abstraksi rendah, tetapi komitmen tinggi
3. Guru yang memiliki abstraksi tinggi, tetapi komitmen rendah
4. Guru yang memiliki abstraksi rendah dan komitmen rendah.
1. Guru yang memiliki abstraksi tinggi dan komitmen tinggi
2. Guru yang memiliki abstraksi rendah, tetapi komitmen tinggi
3. Guru yang memiliki abstraksi tinggi, tetapi komitmen rendah
4. Guru yang memiliki abstraksi rendah dan komitmen rendah.
Guru yang memiliki tingkat
abstrak yang tinggi serta tanggung jawab dan komitmen yang tinggi dapat
dikategorikan sebagai guru profesional. Guru dituntut menjadi profesional
karena tinggi rendahnya mutu pendidikan sangat bergantung pada kualitas guru.
Pemberian tunjangan sertifikasi guru oleh pemerintah bertujuan mewujudkan guru
profesional. Tipe kedua (abstraksi rendah, komitmen tinggi) lebih mending
dibanding tipe ketiga dan keempat, karena mereka masih mau bekerja, walaupun
kurang memiliki ide-ide bagi pengembangan sekolah.
Jenis guru ketiga (abstraksi
tinggi, komitmen rendah) sering merepotkan sekolah, pasalnya mereka senang
mengkritisi, tetapi tidak mampu menunjukkan kinerja yang tinggi. Terkadang
mereka menjadi pemicu perpecahan di sekolah.
Paling menyedihkan di antaranya
adalah tipe guru keempat (abstraksi rendah dan komitmen rendah), selain tidak
memiliki ide-ide, inisiatif, atau prakarsa untuk peningkatan mutu, juga tidak
mampu menjalankan tugas dengan baik, bahkan seringkali menjadi olok-olokan
siswa. Dapat dikatakan bahwa pengangkatan guru tipe keempat ini adalah kekeliruan
pemerintah.
Jenis guru ketiga dan keempat
inilah yang merupakan guru penikmat kezaliman. Kezaliman yang dimaksud di sini
adalah segala bentuk tindakan, sikap, dan kebijakan dari atasan, atau pejabat
terkait yang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Jenis guru ketiga
memanfaatkan kezaliman ini untuk menyelamatkan diri dari tugas dan tanggung
jawab. Jenis guru ketiga dan keempat pada dasarnya adalah guru pemalas. Boleh
jadi mereka malas, karena tidak memiliki motivasi, atau karena lebih mengutamakan
kepentingan pribadi daripada kepentingan anak-anak bangsa, atau menjadi guru
karena faktor kesasar saja, tidak punya pilihan lain. Yang jelas mereka menjadi
salah satu faktor berpengaruh atas rendahnya mutu pendidikan dewasa ini.
Asumsi yang mendasari pandangan
ini berangkat dari perbincangan sehari-hari di ruang guru. Mari kita simak
perbincangan antara salah seorang guru dengan guru tipe ketiga dan keempat
berikut ini:
Tanya: “Wah kebetulan, dari tadi
dicari-cari. Darimana pak, tadi tidak ikut upacara?”.
Jawab: “Sebenarnya tadi sudah siap, tapi saya pikir, ah, kepala sekolah juga jarang ikut upacara, he-he-he.”
(Padahal semua orang tahu, guru yang bersangkutan selalu telat)
Jawab: “Sebenarnya tadi sudah siap, tapi saya pikir, ah, kepala sekolah juga jarang ikut upacara, he-he-he.”
(Padahal semua orang tahu, guru yang bersangkutan selalu telat)
Tanya: “Bu, bisa lihat catatan
remedialnya?”.
Jawab: “Kan ,
sudah dipatok sama Kepala Sekolah dan Pengawas, paling rendah KKM 75, dan
anak-anak harus tuntas semua. Buat apa repot-repot diremedi, langsung saja
kasih nilai 75, beres!”.
(Padahal jangankan remedi, mengajar pun setengah hati)
Jawab: “
(Padahal jangankan remedi, mengajar pun setengah hati)
Tanya: “Pak, kenapa tidak ikut
pemilihan guru berprestasi?”
Jawab: “Ah, malas.Kan
sudah diatur siapa pemenangnya”.
(Padahal sebenarnya dia tidak siap, dan tidak punya kemampuan kompetitif)
Jawab: “Ah, malas.
(Padahal sebenarnya dia tidak siap, dan tidak punya kemampuan kompetitif)
Tanya: “Pak, anak-anak tanya,
kenapa kemarin sore Bapak tidak mengajar?” (bimbingan pemantapan UN)
Jawab: “Maaf, saya ketiduran kemarin. Lagian juga percuma,kan anak-anak pasti lulus semua karena
selalu ada bocoran kunci”.
(Padahal guru yang bersangkutan terkenal malas mengajar sore hari)
Jawab: “Maaf, saya ketiduran kemarin. Lagian juga percuma,
(Padahal guru yang bersangkutan terkenal malas mengajar sore hari)
Tanya: “Bu, sudah punya PTK untuk
kenaikan golongan IV/b?”
Jawab: “Sebenarnya sudah hampir rampung, tapi saya dengar kalau tidak dibayar, pasti PTK yang kita bikin salah”.
(Padahal sudahlima
kali dia ikut diklat PTK dan belum ada satu pun hasil)
Jawab: “Sebenarnya sudah hampir rampung, tapi saya dengar kalau tidak dibayar, pasti PTK yang kita bikin salah”.
(Padahal sudah
Tanya: “Pak, media apa yang
digunakan untuk mengajarkan materi ini?”
Jawab: “Sudah ada saya rancang, tapi bendahara dana BOS tidak mau biayai”
(Diberi dana pun, yakin media tersebut tidak bakalan jadi)
Jawab: “Sudah ada saya rancang, tapi bendahara dana BOS tidak mau biayai”
(Diberi dana pun, yakin media tersebut tidak bakalan jadi)
Dari percakapan di atas terkesan
seolah-olah guru yang bersangkutan tidak bisa berbuat, terhambat kreativitasnya
karena adanya kebijakan yang tidak benar di sekolahnya. Seakan-akan dia
terzalimi, padahal jauh di dalam lubuk hatinya, sesungguhnya sangat tenang dan
menikmati ketidakberesan tersebut. Mereka adalah guru-guru penikmat kezaliman,
dan secara tidak langsung berharap kezaliman itu selalu ada agar bisa nyaman
berlindung dari pelaksanaan tugas dan tanggung jawab yang dirasa amat berat
baginya.
Semoga Tuhan Yang Mahakuasa
mencabut penyakit hati yang menyempitkan pikiran, memberi kita kelapangan dada
agar dapat melaksanakan amanah dengan baik. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar