Selasa, 07 Oktober 2014

Guru Tidak Bemutu adalah Penikmat Kezaliman


Guru Tidak Bemutu adalah Penikmat Kezaliman

Ditinjau dari aspek kinerja, guru dapat dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu:
1. Guru yang memiliki abstraksi tinggi dan komitmen tinggi
2. Guru yang memiliki abstraksi rendah, tetapi komitmen tinggi
3. Guru yang memiliki abstraksi tinggi, tetapi komitmen rendah
4. Guru yang memiliki abstraksi rendah dan komitmen rendah.
Guru yang memiliki tingkat abstrak yang tinggi serta tanggung jawab dan komitmen yang tinggi dapat dikategorikan sebagai guru profesional. Guru dituntut menjadi profesional karena tinggi rendahnya mutu pendidikan sangat bergantung pada kualitas guru. Pemberian tunjangan sertifikasi guru oleh pemerintah bertujuan mewujudkan guru profesional. Tipe kedua (abstraksi rendah, komitmen tinggi) lebih mending dibanding tipe ketiga dan keempat, karena mereka masih mau bekerja, walaupun kurang memiliki ide-ide bagi pengembangan sekolah.
Jenis guru ketiga (abstraksi tinggi, komitmen rendah) sering merepotkan sekolah, pasalnya mereka senang mengkritisi, tetapi tidak mampu menunjukkan kinerja yang tinggi. Terkadang mereka menjadi pemicu perpecahan di sekolah.
Paling menyedihkan di antaranya adalah tipe guru keempat (abstraksi rendah dan komitmen rendah), selain tidak memiliki ide-ide, inisiatif, atau prakarsa untuk peningkatan mutu, juga tidak mampu menjalankan tugas dengan baik, bahkan seringkali menjadi olok-olokan siswa. Dapat dikatakan bahwa pengangkatan guru tipe keempat ini adalah kekeliruan pemerintah.
Jenis guru ketiga dan keempat inilah yang merupakan guru penikmat kezaliman. Kezaliman yang dimaksud di sini adalah segala bentuk tindakan, sikap, dan kebijakan dari atasan, atau pejabat terkait yang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Jenis guru ketiga memanfaatkan kezaliman ini untuk menyelamatkan diri dari tugas dan tanggung jawab. Jenis guru ketiga dan keempat pada dasarnya adalah guru pemalas. Boleh jadi mereka malas, karena tidak memiliki motivasi, atau karena lebih mengutamakan kepentingan pribadi daripada kepentingan anak-anak bangsa, atau menjadi guru karena faktor kesasar saja, tidak punya pilihan lain. Yang jelas mereka menjadi salah satu faktor berpengaruh atas rendahnya mutu pendidikan dewasa ini.
Asumsi yang mendasari pandangan ini berangkat dari perbincangan sehari-hari di ruang guru. Mari kita simak perbincangan antara salah seorang guru dengan guru tipe ketiga dan keempat berikut ini:
Tanya: “Wah kebetulan, dari tadi dicari-cari. Darimana pak, tadi tidak ikut upacara?”.
Jawab: “Sebenarnya tadi sudah siap, tapi saya pikir, ah, kepala sekolah juga jarang ikut upacara, he-he-he.”
(Padahal semua orang tahu, guru yang bersangkutan selalu telat)
Tanya: “Bu, bisa lihat catatan remedialnya?”.
Jawab: “Kan, sudah dipatok sama Kepala Sekolah dan Pengawas, paling rendah KKM 75, dan anak-anak harus tuntas semua. Buat apa repot-repot diremedi, langsung saja kasih nilai 75, beres!”.
(Padahal jangankan remedi, mengajar pun setengah hati)
Tanya: “Pak, kenapa tidak ikut pemilihan guru berprestasi?”
Jawab: “Ah, malas. Kan sudah diatur siapa pemenangnya”.
(Padahal sebenarnya dia tidak siap, dan tidak punya kemampuan kompetitif)
Tanya: “Pak, anak-anak tanya, kenapa kemarin sore Bapak tidak mengajar?” (bimbingan pemantapan UN)
Jawab: “Maaf, saya ketiduran kemarin. Lagian juga percuma, kan anak-anak pasti lulus semua karena selalu ada bocoran kunci”.
(Padahal guru yang bersangkutan terkenal malas mengajar sore hari)
Tanya: “Bu, sudah punya PTK untuk kenaikan golongan IV/b?”
Jawab: “Sebenarnya sudah hampir rampung, tapi saya dengar kalau tidak dibayar, pasti PTK yang kita bikin salah”.
(Padahal sudah lima kali dia ikut diklat PTK dan belum ada satu pun hasil)
Tanya: “Pak, media apa yang digunakan untuk mengajarkan materi ini?”
Jawab: “Sudah ada saya rancang, tapi bendahara dana BOS tidak mau biayai”
(Diberi dana pun, yakin media tersebut tidak bakalan jadi)
Dari percakapan di atas terkesan seolah-olah guru yang bersangkutan tidak bisa berbuat, terhambat kreativitasnya karena adanya kebijakan yang tidak benar di sekolahnya. Seakan-akan dia terzalimi, padahal jauh di dalam lubuk hatinya, sesungguhnya sangat tenang dan menikmati ketidakberesan tersebut. Mereka adalah guru-guru penikmat kezaliman, dan secara tidak langsung berharap kezaliman itu selalu ada agar bisa nyaman berlindung dari pelaksanaan tugas dan tanggung jawab yang dirasa amat berat baginya.
Semoga Tuhan Yang Mahakuasa mencabut penyakit hati yang menyempitkan pikiran, memberi kita kelapangan dada agar dapat melaksanakan amanah dengan baik. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar