Minggu, 06 Oktober 2013

PAHALA DAN DOSA SEORANG GURU


PAHALA DAN DOSA SEORANG GURU




Oleh: Sadi Suharto, S.Ag
Ungkapan Guru Adalah Pahlawan Tanpa Tanda Jasa merupakan suatu ungkapan yang tepat untuk seorang guru. Bahkan seorang penyair bernama Sjauki menciptakan suatu kata-kata mutiara untuk sang guru “Berdiri dan hormatilah guru dan berilah penghargaan , karena seorang guru hampir saja merupakan seorang Rasul”. Dari kata mutiara tersebut dapat kita lihat betapa mulianya tugas seorang guru, jadi wajarlah jika guru mendapatkan julukan yang tidak akan pernah ditemukan pada profesi. Semua julukan itu perlu dilestarikan dengan pengabdian  yang tulus ikhlas, dan dengan motivasi kerja untuk membina watak anak didik. Tetapi untuk saat ini julukan guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa hanya pantas untuk sebagian kecil guru saja.
Idealisme seorang guru haruslah memberikan dirinya secara total bagi dunia pendidikan, hal itu merupakan keadaan yang berat ditengah  semua persoalan hidup yang harus dihadapi seorang guru. Hal tersebut merupakan sebuah tantangan bagi seorang pendidik. Guru yang berkualitas selalu mengembangkan profesionalismenya secara penuh. Guru yang profesional akan tetap konsekwen pada pekerjaannya dengan membuktikan, kinerjanya layak dihargai. Mungkin ini salah satu alternatif yang bisa dilakukan guru untuk mengembangkan dan mempertahankan idealismenya pada masa sulit. Tetapi profesionalisme guru sebenarnya adalah sebuah paradigma yang tidak dapat ditawar- tawar lagi.
Sehingga perbuatan yang diterapkan kepada peserta didiknya bisa berninali pahala dan dosa. Mengapa demikian........? Karena kesalahaan mendidik dampaknya sangat fatal sekali maka akan merusak generasi bangsa yang rusak moral dan korup. Seorang guru dapat berbuat kebaikan dan dapat melakukan dosa-dosa, Paulo Freire menyebutkan bentuk 7 (tujuh) dosa-dosa yang sering dilakukan oleh para guru antara lain:

1.        Mengambil jalan pintas dalam mengajar (tanpa perangkat mengajar; RPP-Silabus-Prota-Promes-Jurnal Mengajar-dan lain-lain)
2.        Menunggu peserta didik berperilaku negative baru ditegur;
3.        Menggunakan destructive discipline saat membina siswa;
4.        Mengabaikan keunikan peserta didik saat mengajar (siswa kurang mampu dan siswa mampu diperlakukan sama saja dalam KBM);
5.        Malas belajar dan meningkatkan ketrampilan karena merasa paling pandai dan tahu;
6.        Tidak adil (deskriminatif); dan
7.        Memaksa hak peserta didik.
Apalagi bila kita bicara tentang Ujian Nasional atau biasa disingkat UN. Ujian yang merupakan salah satu penentu lulus tidaknya seorang siswa setelah selama 3 tahun mencari ilmu. Dosa yang paling ringan, barangkali, guru yang menjadi pengawas ujian di ruang kelas hanya diam saja, membiarkan peserta ujian melakukan kecurangan misalnya: mencontek pekerjaan peserta lain, atau menggunakan HP untuk saling berbagi jawaban.
Padahal jelas dalam tata tertib ujian nasional yang dibacakan terlebih dahulu oleh pengawas yang bersangkutan, semua kegiatan itu tidak boleh. Jika kecurangan tersebut dibiarkan maka para peserta akan semakin berani untuk melakukan kecurangan, dan guru tersebut jelas tidak lagi berwibawa dan dihormati siswa-siswanya. 
Dosa yang lebih parah, ketika guru memberikan kunci jawaban kepada peserta ujian. Bagaimana caranya? Pepatah menyatakan ‘banyak jalan menuju Roma’, mulai dari cara yang sederhana sampai cara yang canggih. Lalu, siapa yang rugi? Banyak yang rugi, termasuk guru. Tetapi yang jelas siswa yang malas akan tertawa dengan bangga.
Kenapa Dikatakan Dosa?
Kenapa guru yang mengambil jalan pintas dalam mengajar (tanpa perangkat mengajar; RPP-Silabus-Prota-Promes-Jurnal Mengajar-dan lain-lain) dikatakan dosa? Karena pada hakekatnya, berani untuk menjadi guru adalah berani mengambil amanah yang besar dan berat.
Amânah berasal dari kata a-mu-na – ya‘munu – amn[an] wa amânat[an] yang artinya jujur atau dapat dipercaya. Secara bahasa, amânah (amanah) dapat diartikan sesuatu yang dipercayakan atau kepercayaan. Amanah juga berarti titipan (al-wadî‘ah). Amanah lawan kata dari khianat. Amanah terjadi di atas ketaatan, ibadah, al-wadî’ah (titipan), dan ats-tsiqah (kepercayaan). Oleh karena itu, sikap amanah merupakan sesuatu yang dipercayakan untuk dijaga, dilindungi, dan dilaksanakan.
Seorang guru adalah profesi yang menuntut individu-individunya adalah orang-orang yang amanah. Dan guru sangat jelas sekali mendapatkan amanah atau titipan atau kepercayaan dari para orang tua (wali murid) untuk mendidik anak-anaknya dengan sebaik-baiknya. Orang tua tidak menitipkan barang atau benda mati untuk dijaga dan dididik, tetapi yang dititipkan adalah seorang makhluk hidup yang berhak untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran yang layak dan berkualitas. Maka, profesi ini adalah profesi yang mulia, profesi yang menuntut tanggungjawab yang sangat besar.
Bahkan guru di madrasah/sekolah, pada dasarnya, merupakan orang tua kedua bagi anak didik. Mungkin para guru lupa bahwa anak didik di sekolah, seharusnya benar-benar disayang dan diperlakukan selayaknya anak-anak kandungnya sendiri.  Apakah amanah dan tanggungjawab ini akan kita sia-siakan? Apakah tugas mulia ini akan kita sepelekan? Jawablah dalam hati kita masing-masing.
Tentang amanah ini, Rasulullah saw mengingatkan dalam sebuah haditsnya, "Jika amanah disia-siakan, tunggulah saat kehancuran". Sahabat bertanya: "Bagaimana menyia-nyiakan amanah itu?" Rasul menjawab: "Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya" (HR Bukhari). Hadits ini diperkuat dengan sejumlah ayat Al Quran dan hadis lain tentang keharusan umat Islam menyerahkan amanah kepada ahlinya.
Dalam Surat An-Nisa [4]: 58 Allah Swt menegaskan, yang artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada orang yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil.”
Dalil-dalil di atas dengan gamblang menggambarkan konsekuensi dari sifat dan sikap amanah ini. Bersikap amanah adalah tuntutan iman. Kebalikan dari amanah adalah khianat, dan khianat adalah salah satu ciri kekafiran. Rasulullah saw menegaskan hal itu bahwa, “Tiada iman pada orang yang tidak menunaikan amanah; dan tiada agama pada orang yang tidak menunaikan janji.” (Ahmad dan Ibnu Hibban)
Oleh karena itu, bila ada (semoga tidak ada) seorang guru yang sering, bahkan bisa menjadi karakter,  meremeh-temehkan tanggungjawab dan menyepelekan amanahnya dalam menjalankan TUPOKSI (Tugas Pokok dan Fungsi) sebagai guru, berarti guru tersebut telah melakukan perbuatan dosa. Sang guru telah menyiapkan saat-saat kehancuran yang bisa saja terjadi tidak hanya bagi menimpa dirinya sendiri tapi juga melanda orang lain.
Dan saya sadar secara sengaja atau tidak disengaja (dengan sesadar-sadarnya) telah secara langsung maupun tidak langsung sering melakukan dosa-dosa sebagai guru. Dan saya pun berdo’a : “Ya Allah, ampunilah kesalahanku, kejahilanku, sikapku yang melampaui batas dalam urusanku dan segala hal yang Engkau lebih mengetahui hal itu dari diriku. Ya Allah, ampunilah aku, kesalahan yang kuperbuat tatkala serius maupun saat bercanda dan ampunilah pula kesalahanku saat aku tidak sengaja maupn sengaja, ampunilah segala kesalahan yang kulakukan.”

2 komentar:

  1. Semoga menjadi jawaban bagi guru yang belum berbuat adil dan belum amanah terhadap pekerjaannya.

    BalasHapus