PAHALA DAN DOSA SEORANG GURU
Oleh: Sadi Suharto, S.Ag |
Ungkapan Guru Adalah Pahlawan Tanpa
Tanda Jasa merupakan suatu ungkapan yang tepat untuk seorang guru. Bahkan
seorang penyair bernama Sjauki menciptakan suatu kata-kata mutiara untuk sang
guru “Berdiri dan hormatilah guru dan berilah penghargaan , karena seorang
guru hampir saja merupakan seorang Rasul”. Dari kata mutiara tersebut dapat
kita lihat betapa mulianya tugas seorang guru, jadi wajarlah jika guru
mendapatkan julukan yang tidak akan pernah ditemukan pada profesi. Semua
julukan itu perlu dilestarikan dengan pengabdian yang tulus ikhlas, dan
dengan motivasi kerja untuk membina watak anak didik. Tetapi untuk saat ini
julukan guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa hanya pantas untuk sebagian
kecil guru saja.
Idealisme seorang guru haruslah
memberikan dirinya secara total bagi dunia pendidikan, hal itu merupakan
keadaan yang berat ditengah semua persoalan hidup yang harus dihadapi
seorang guru. Hal tersebut merupakan sebuah tantangan bagi seorang pendidik.
Guru yang berkualitas selalu mengembangkan profesionalismenya secara penuh. Guru
yang profesional akan tetap konsekwen pada pekerjaannya dengan membuktikan,
kinerjanya layak dihargai. Mungkin ini salah satu alternatif yang bisa
dilakukan guru untuk mengembangkan dan mempertahankan idealismenya pada masa
sulit. Tetapi profesionalisme guru sebenarnya adalah sebuah paradigma yang
tidak dapat ditawar- tawar lagi.
Sehingga perbuatan yang diterapkan kepada peserta didiknya bisa berninali pahala dan dosa. Mengapa demikian........? Karena kesalahaan mendidik dampaknya
sangat fatal sekali maka akan merusak generasi bangsa yang rusak moral dan
korup. Seorang guru dapat berbuat kebaikan dan dapat melakukan dosa-dosa, Paulo Freire menyebutkan bentuk 7 (tujuh) dosa-dosa yang sering
dilakukan oleh para guru antara lain:
1.
Mengambil
jalan pintas dalam mengajar (tanpa perangkat mengajar;
RPP-Silabus-Prota-Promes-Jurnal Mengajar-dan lain-lain)
2.
Menunggu
peserta didik berperilaku negative baru ditegur;
3.
Menggunakan
destructive discipline saat membina siswa;
4.
Mengabaikan
keunikan peserta didik saat mengajar (siswa kurang mampu dan siswa mampu
diperlakukan sama saja dalam KBM);
5.
Malas
belajar dan meningkatkan ketrampilan karena merasa paling pandai dan tahu;
6.
Tidak adil
(deskriminatif); dan
7.
Memaksa
hak peserta didik.
Apalagi bila kita bicara tentang Ujian Nasional
atau biasa disingkat UN. Ujian yang merupakan salah satu penentu lulus tidaknya
seorang siswa setelah selama 3 tahun mencari ilmu. Dosa yang paling ringan,
barangkali, guru yang menjadi pengawas ujian di ruang kelas hanya diam saja,
membiarkan peserta ujian melakukan kecurangan misalnya: mencontek pekerjaan
peserta lain, atau menggunakan HP untuk saling berbagi jawaban.
Padahal jelas dalam tata tertib ujian
nasional yang dibacakan terlebih dahulu oleh pengawas yang bersangkutan, semua
kegiatan itu tidak boleh. Jika kecurangan tersebut dibiarkan maka para peserta
akan semakin berani untuk melakukan kecurangan, dan guru tersebut jelas tidak
lagi berwibawa dan dihormati siswa-siswanya.
Dosa yang lebih parah,
ketika guru memberikan kunci jawaban kepada peserta ujian. Bagaimana caranya?
Pepatah menyatakan ‘banyak jalan menuju Roma’, mulai dari cara yang
sederhana sampai cara yang canggih. Lalu, siapa yang rugi? Banyak yang rugi,
termasuk guru. Tetapi yang jelas siswa yang malas akan tertawa dengan bangga.
Kenapa Dikatakan Dosa?
Kenapa guru yang mengambil jalan pintas
dalam mengajar (tanpa perangkat mengajar; RPP-Silabus-Prota-Promes-Jurnal
Mengajar-dan lain-lain) dikatakan dosa? Karena pada hakekatnya, berani untuk
menjadi guru adalah berani mengambil amanah yang besar dan berat.
Amânah berasal dari kata a-mu-na –
ya‘munu – amn[an] wa amânat[an] yang artinya jujur atau dapat dipercaya.
Secara bahasa, amânah (amanah) dapat diartikan sesuatu yang dipercayakan
atau kepercayaan. Amanah juga berarti titipan (al-wadî‘ah). Amanah lawan
kata dari khianat. Amanah terjadi di atas ketaatan, ibadah, al-wadî’ah
(titipan), dan ats-tsiqah (kepercayaan). Oleh karena itu, sikap amanah
merupakan sesuatu yang dipercayakan untuk dijaga, dilindungi, dan dilaksanakan.
Seorang guru adalah profesi yang menuntut
individu-individunya adalah orang-orang yang amanah. Dan guru sangat jelas
sekali mendapatkan amanah atau titipan atau kepercayaan dari para orang tua
(wali murid) untuk mendidik anak-anaknya dengan sebaik-baiknya. Orang tua tidak
menitipkan barang atau benda mati untuk dijaga dan dididik, tetapi yang
dititipkan adalah seorang makhluk hidup yang berhak untuk mendapatkan
pendidikan dan pengajaran yang layak dan berkualitas. Maka, profesi ini adalah
profesi yang mulia, profesi yang menuntut tanggungjawab yang sangat besar.
Bahkan guru di madrasah/sekolah, pada
dasarnya, merupakan orang tua kedua bagi anak didik. Mungkin para guru lupa
bahwa anak didik di sekolah, seharusnya benar-benar disayang dan
diperlakukan selayaknya anak-anak kandungnya sendiri. Apakah amanah dan
tanggungjawab ini akan kita sia-siakan? Apakah tugas mulia ini akan kita
sepelekan? Jawablah dalam hati kita masing-masing.
Tentang amanah ini, Rasulullah saw
mengingatkan dalam sebuah haditsnya, "Jika amanah disia-siakan,
tunggulah saat kehancuran". Sahabat bertanya: "Bagaimana
menyia-nyiakan amanah itu?" Rasul menjawab: "Jika
urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat
kehancurannya" (HR Bukhari). Hadits ini diperkuat
dengan sejumlah ayat Al Quran dan hadis lain tentang keharusan umat Islam
menyerahkan amanah kepada ahlinya.
Dalam Surat An-Nisa [4]: 58
Allah Swt menegaskan, yang artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan
amanah kepada orang yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil.”
Dalil-dalil di atas dengan gamblang menggambarkan
konsekuensi dari sifat dan sikap amanah ini. Bersikap amanah adalah tuntutan iman.
Kebalikan dari amanah adalah khianat, dan khianat adalah salah satu ciri
kekafiran. Rasulullah saw menegaskan hal itu bahwa, “Tiada iman pada orang
yang tidak menunaikan amanah; dan tiada agama pada orang yang tidak menunaikan
janji.” (Ahmad dan Ibnu Hibban)
Oleh karena itu, bila ada
(semoga tidak ada) seorang guru yang sering, bahkan bisa menjadi
karakter, meremeh-temehkan tanggungjawab dan menyepelekan amanahnya dalam
menjalankan TUPOKSI (Tugas Pokok dan Fungsi) sebagai guru, berarti guru
tersebut telah melakukan perbuatan dosa. Sang guru
telah menyiapkan saat-saat kehancuran yang bisa saja terjadi tidak hanya bagi
menimpa dirinya sendiri tapi juga melanda orang lain.
Dan saya sadar secara sengaja atau tidak disengaja
(dengan sesadar-sadarnya) telah secara langsung maupun tidak langsung sering
melakukan dosa-dosa sebagai guru. Dan saya pun berdo’a :
“Ya Allah, ampunilah kesalahanku, kejahilanku, sikapku yang melampaui batas
dalam urusanku dan segala hal yang Engkau lebih mengetahui hal itu dari diriku.
Ya Allah, ampunilah aku, kesalahan yang kuperbuat tatkala serius maupun saat
bercanda dan ampunilah pula kesalahanku saat aku tidak sengaja maupn sengaja,
ampunilah segala kesalahan yang kulakukan.”
luar biasa
BalasHapustulisan yang bagus
Semoga menjadi jawaban bagi guru yang belum berbuat adil dan belum amanah terhadap pekerjaannya.
BalasHapus